Gadis Pembawa Pintu
Aku kembali duduk di tepian jendela, menikmati bias air, seusai hujan.
Langit sempurna putih, mengusir ribuan awan yang sejak sore membendung kotaku.
Menimbulkan rintikan air yang pecah dari atas sana, mengajakku berlari kecil
menuju kedai coffee ini (kembali). Aku suka melihat hujan, tanpa gemblegar.
Tapi saat ini aku terjebak, di ratusan waktu yang lalu. Ketika menunggu
hujan reda bersamamu, tepat di kedai ini. Kau sengaja lingkarkan jaketmu di
pundakku, menggenggam tanganku kuat. Seakan tak sedikitpun rela dingin menjalar
ditubuhku. Aku tersenyum. Tepat saat tangan ku kau tarik maju, bibirmu dengan
lembut membelainya.
Astaga, kau tau ? malam ini aku mengenangmu (lagi). Dengan berbagai
cerita berkelebat tak tau arah. Rasanya luka memang melekat tanpa sekat.
Terkadang cinta yang berlebihan akan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan
pula dikemudian hari, seperti saat ini.
Aku lelah bersandiwara, menegarkan diri tanpa peduli. Nyatanya aku masih
berada disini, walau ku tau punggungmu berarak jauh, hingga tak terlihat lagi.
Sedang lihatlah aku ? aku masih membawa pintu, saendainya nanti kau akan pulang
kerumahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar