Kamis, 08 Mei 2014

Selamat Sore Senja #3



Selamat sore senja #3

Hari ini kau sempat melirik ke jendela kamarku ? kalau iya, pasti tak ada apa-apa. Maaf matahari hari ini sedang sibuk sekali, tidak sempat membiarkan mataku melihat indahmu nja, tak bisa memperhatikanmu sibuk dengan alat musik berwarna hitam itu, yang selalu kau pegang kemanapun.
Nja.. aku rindu, suaramu yang merdu, dan tatapan matamu yang indah.
Sehari tak melihatmu hariku seperti kaku, dikejar-kejar laporan dan tinta hitam bernyawa itu, kau bisa bayangkan kalau laporan itu bisa hidup, pasti akan mengejarku bukan ? aku terlalu berkhayal. Aku memang seorang gadis “pengkhayal”. 
Esuk akan ku temui kau kembali nja, dibalik kaca jendela kamarku. Aku rindu.


Salam, matahari.
Boyolali, 20 Februari 2014

Selasa, 25 Maret 2014

“Aku pernah jatuh dan tak mampu berdiri”



Aku berada di pertengahan bulan Maret, dan sebulan lagi aku akan menginjak umur 20 tahun. Itu berarti aku sudah berada di angka 3 tahun tanpa terapi, tanpa menghabiskan uang ayah dan ibu. Walau nyatanya aku masih ketergantungan dengan obat.
Aku berada di sore hari dengan guyuran hujan yang lebat, aku menatap datar diluar sana lewat jendela kamar. Tiba-tiba aku mengingat laki-laki yang selama ini selalu menguatkanku, walau takut melihatku disuntik, walau selalu menghindar saat alat-alat medis berada disampingku, tapi aku tau kekuatannya. Ya, laki-laki itu adalah Ayahku.
Mungkin kalian akan malu saat ditanya “mandi berapa kali ?” dan jawabannya adalah “satu kali”. Ayah selalu bilang, “sudah jam 3 dek, mandi dulu sebelum dingin”. Mungkin kalian akan merasa aneh, tapi tidak demikian untukku. Aku takut dingin, sungguh. Dokter melarangku untuk mandi lebih dari pukul 4, maka dari itu ayah dan ibu ku lah yang selalu setia mengingatkanku.
“Aku pernah jatuh dan tak mampu berdiri” mungkin kata-kata itu konyol bagi kalian, tapi tidak bagiku. Karena aku pernah jatuh, lumpuh sehari dan memang tidak bisa berdiri. Aku masih ingat, waktu itu aku duduk dibangku SMP kelas 2. Kakiku seperti mati rasa, sulit digerakkan bahkan untuk bangun aku tak mampu. Ayah dan ibu membawaku ke rumah sakit kembali
. Terhitung 6x aku ganti dokter, entah itu spesialis atau dokter umum, bahkan dokter herbal sekalipun dan Dengan 5x ganti rumah sakit.
“kalau wulan mau disuntik, berarti wulan anak pinter. Nanti dibeliin cokelat sama es krim ya” ibu selalu bilang begitu, saat jarum-jarum kaku itu akan menusuk tubuhku kembali. Entah berapa kali aku disuntik, aku lupa. Yang jelas seminggu sekali aku harus mendapat 6 suntikkan di kanan kiri kakiku, dan tak terhitung berapa biaya yang harus keluar. Itu berlangsung beberapa tahun, dan beberapa tahun lagi aku ganti pengobatan herbal.
Kalian tau, apa yang aku minum ? seduhan daun sirsak dan perasan kunyit, jangan tanya enak atau enggak. Aku sama sekali menikmatinya, karna ibu yang membuatkan untukku.
Lalu kalian bertanya, apakah waktu itu aku menangis ? aku tidak pernah menangis, sungguh, aku tidak pernah menangis didepan ayah dan ibuku. Aku hanya menangis saat ayah dan ibu tidak dirumah, atau saat mereka sudah terlelap tidurnya. Dan aku selalu menangis saat terbangun, mendengar doa ibu dan ayahku di pertengahan malam. Aku terjatuh dibelakang pintu, meng”amini” setiap doa beliau.
Lalu kalian tanya apakah aku lelah ? aku akan tersenyum dan menjawab “ini mungkin belum seberapa dibanding orang-orang yang disana, aku hanya mampu berusaha. Sekuat aku.”
Apakah kalian akan bertanya, aku sakit apa ? aku akan menjawab “tidak tau” karna dari sekian dokter yang aku ceritakan, tidak ada yang bisa mendiagnosis penyakitku. Ya, aku mulai sakit sejak kelas 4 SD, 10 tahun yang lalu mungkin aku terlihat tersiksa, tapi syukurlah semenjak lulus SMA keadaanku dibatas normal. Aku sembuh ? “belum”. Nyatanya awal semester 2 menjadi seorang mahasiswi aku kembali sakit. Kalian ingin tau hal apa yang aku lakukan ? aku tidak sekalipun mengabari ayah ibuku. Aku datang ke rumah sakit sendiri, membuka celengan ayam yang belum penuh. Kembali aku meminum obat. Seminggu aku kembali sehat. Dan berikutnya aku kembali jatuh, aku memutuskan untuk tidak kembali ke dokter. Uangku habis dan tabunganku sudah tidak ada. Aku beberapa bulan bekerja, dengan setumpuk tugas kuliah juga. Akhirnya uang yang ku dapat kubelikan hadiah untuk ayah dan ibuku, aku lupa soal terapi.
Dan sekarang, aku berada di semester 6 dengan umur hampir 20 tahun. Aku sudah mampu mengurus diri dengan check up ke dokter sendiri, atau sesekali terapi kalau ada uang lebih. Aku bukan melupakan ayah dan ibuku, tetapi karna ini sudah waktunya aku yang merawat mereka. Bukan lagi aku yang dirawat. Apalagi semenjak ayah sakit lemah jantung, aku berusaha sebulan sekali membelikan makanan-makanan bergizi untuk beliau. Mengatur pola makan dan aktifitas ayah dirumah. Aku sungguh tidak mau sampai melihat ayah jatuh sakit lagi.
Semoga ceritaku bisa menjadi pengamatan kalian, hidup terus berjalan, aku terus memperbaiki diri, ku harap begitu pula dengan kalian. Suatu hari akan ku post kembali cerita-cerita kecil yang mungkin kalian lupa untuk mengamati. J

Minggu, 23 Februari 2014

gadis pembawa pintu



Gadis Pembawa Pintu
Aku kembali duduk di tepian jendela, menikmati bias air, seusai hujan. Langit sempurna putih, mengusir ribuan awan yang sejak sore membendung kotaku. Menimbulkan rintikan air yang pecah dari atas sana, mengajakku berlari kecil menuju kedai coffee ini (kembali). Aku suka melihat hujan, tanpa gemblegar.
Tapi saat ini aku terjebak, di ratusan waktu yang lalu. Ketika menunggu hujan reda bersamamu, tepat di kedai ini. Kau sengaja lingkarkan jaketmu di pundakku, menggenggam tanganku kuat. Seakan tak sedikitpun rela dingin menjalar ditubuhku. Aku tersenyum. Tepat saat tangan ku kau tarik maju, bibirmu dengan lembut membelainya.
Astaga, kau tau ? malam ini aku mengenangmu (lagi). Dengan berbagai cerita berkelebat tak tau arah. Rasanya luka memang melekat tanpa sekat. Terkadang cinta yang berlebihan akan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan pula dikemudian hari, seperti saat ini.
Aku lelah bersandiwara, menegarkan diri tanpa peduli. Nyatanya aku masih berada disini, walau ku tau punggungmu berarak jauh, hingga tak terlihat lagi. Sedang lihatlah aku ? aku masih membawa pintu, saendainya nanti kau akan pulang kerumahku.

selamat sore senja #2



Selamat Sore Senja #2

Hai nja..
Lihat aku sedang mengaduk teh hangat digelas putih bercak abu, menimbulkan dentingan sendok bersama diameter gelasnya. Aku menyukai sore seperti ini, bau tanah basah. Beberapa jam yang lalu kotaku diguyur hujan lebat, padahal aku sedang berada dikampus mengambil berkas. Terpaksa aku berlari kecil menuju halte bus terdekat, mengalun-alunkan tangan menghentikan bus tujuanku. Jarak kampus menuju tempat kostku tidak terlalu jauh, biasanya aku mampu berjalan pulang pergi, kiranya hanya 1,5 kilometer. Tapi tak lelah, aku menyukai berjalan kaki. Karena menurutku, setiap langkah kakiku adalah menuju kebaikan. Aku takut esok tak bisa berjalan. Payung hijau yang setia kubawa kemana-mana ku pegarkan, berlari kecil lagi membuka gerbang kontrakan, pf.. akhirnya aku sampai tujuan.
Setelah cuci muka tadi, aku sengaja menghangatkan diri dengan secangkih teh bergula satu sendok, tak lebih dan tak kurang. Lalu, aku menikmati sore. Melihat langit, was-was, mungkinkah kau datang sore ini. Karna kulihat, awan pekat menutupi jalanmu bukan ? kedua tangan ku lingkaran digelas kaca berwarna putih bercak abu, mengalir hangat melewati pembuluh jariku. Memejamkan mata, menarik nafas dalam, mengeluarkannya pelan, dan sergak bau tanah mengodaku untuk tetap menikmati kedamaian sore ini. Aku mencintainya. Sore dipenghujung senja, kau kembali datang. Aku yakin kau akan datang, aku tersenyum. Kau melirikku kecil. Aku yakin kau berpikir aneh, “siapa gerangan gadis itu, sering kali melihatku dibalik jendela kamarnya”. Mungkin, kau bilang begitu. Mungkin.
Lalu aku diam-diam mengantarkanmu pulang. Malam pun menjelang.


Salam, Matahari.
Solo, 19 Februari 2014

Sabtu, 22 Februari 2014

selamat sore senja #1



Selamat sore Senja

Perkenalkan, namaku matahari. Ini adalah surat pertamaku untumu, lelaki senja. Aku mengagumimu, Aku suka melihatmu dibalik jendela kamar, memperhatikanmu diam-diam. Bahkan aku mau menunggu berjam-jam hanya untuk menatapmu dari jauh. Melihat siluet jingga dari matamu, terpancar indah.
Perkenalkan, aku mengaku matahari. Yang mengantarkanmu datang dan pulang. Tak pernah menemanimu singgah, hanya sebatas melihat.
Aku matahari, begini awalnya nja..

Waktu itu aku sedang terluka, rumah yang ku bangun dan hampir jadi runtuh seketika. Padahal aku sudah membelikan perabotan yang istimewa, ternyata pondasinya kurang kuat, dindingnya tak tahan lama, dan dia khilaf bergandengan tangan dengan wanita lama, masa lalunya. Sedangkan “aku” yang kukira bisa menjadi masa depannya hanya berdiri ditinggal pergi begitu saja. Aku jatuh nja, dan aku menangis untuk kesekian kalinya. Sejak itu aku menyukai kaca jendela tempatku berdiam diri dengan sejuta kenangan lama, aku tak menemukan apa-apa, sebelum akhirnya aku menatap lekat hujan sore itu. Rintik-rintik tak begitu deras, daun di depan jendela kamarku basah seketika, bau tanah menyeruak, aku menyukainya. Hingga awan hitam hilang, diperempatan sore, hampir menuju adzan magrib, langit cerah bergumul jingga, matahari mengantarkan senja untuk datang dibatas cakrawala bagian barat sana. Aku mengikutinya, hingga aku menemukan tatapan yang berbeda. Ya. Tatapan teduh dan damai saat matamu tak sengaja menatapku kembali. Hingga kaku bibirku tak menyungging. Esuknya aku kembali datang menunggumu kembali pulang. Begitu seterusnya. Tanpa kau tau, aku melihatmu diam-diam.
Sejak saat itu nja.. aku mulai mencari tau hidupmu. Segala hal tentang kamu.
Tanpa lelah aku memperhatikanmu.
Cukup sampai ini dulu nja, esuk akan ku lanjutkan ceritaku.

Selamat Sore Senja.

Salam, Matahari. 
Solo, 18 Februari 2014.