Minggu, 23 Februari 2014

gadis pembawa pintu



Gadis Pembawa Pintu
Aku kembali duduk di tepian jendela, menikmati bias air, seusai hujan. Langit sempurna putih, mengusir ribuan awan yang sejak sore membendung kotaku. Menimbulkan rintikan air yang pecah dari atas sana, mengajakku berlari kecil menuju kedai coffee ini (kembali). Aku suka melihat hujan, tanpa gemblegar.
Tapi saat ini aku terjebak, di ratusan waktu yang lalu. Ketika menunggu hujan reda bersamamu, tepat di kedai ini. Kau sengaja lingkarkan jaketmu di pundakku, menggenggam tanganku kuat. Seakan tak sedikitpun rela dingin menjalar ditubuhku. Aku tersenyum. Tepat saat tangan ku kau tarik maju, bibirmu dengan lembut membelainya.
Astaga, kau tau ? malam ini aku mengenangmu (lagi). Dengan berbagai cerita berkelebat tak tau arah. Rasanya luka memang melekat tanpa sekat. Terkadang cinta yang berlebihan akan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan pula dikemudian hari, seperti saat ini.
Aku lelah bersandiwara, menegarkan diri tanpa peduli. Nyatanya aku masih berada disini, walau ku tau punggungmu berarak jauh, hingga tak terlihat lagi. Sedang lihatlah aku ? aku masih membawa pintu, saendainya nanti kau akan pulang kerumahku.

selamat sore senja #2



Selamat Sore Senja #2

Hai nja..
Lihat aku sedang mengaduk teh hangat digelas putih bercak abu, menimbulkan dentingan sendok bersama diameter gelasnya. Aku menyukai sore seperti ini, bau tanah basah. Beberapa jam yang lalu kotaku diguyur hujan lebat, padahal aku sedang berada dikampus mengambil berkas. Terpaksa aku berlari kecil menuju halte bus terdekat, mengalun-alunkan tangan menghentikan bus tujuanku. Jarak kampus menuju tempat kostku tidak terlalu jauh, biasanya aku mampu berjalan pulang pergi, kiranya hanya 1,5 kilometer. Tapi tak lelah, aku menyukai berjalan kaki. Karena menurutku, setiap langkah kakiku adalah menuju kebaikan. Aku takut esok tak bisa berjalan. Payung hijau yang setia kubawa kemana-mana ku pegarkan, berlari kecil lagi membuka gerbang kontrakan, pf.. akhirnya aku sampai tujuan.
Setelah cuci muka tadi, aku sengaja menghangatkan diri dengan secangkih teh bergula satu sendok, tak lebih dan tak kurang. Lalu, aku menikmati sore. Melihat langit, was-was, mungkinkah kau datang sore ini. Karna kulihat, awan pekat menutupi jalanmu bukan ? kedua tangan ku lingkaran digelas kaca berwarna putih bercak abu, mengalir hangat melewati pembuluh jariku. Memejamkan mata, menarik nafas dalam, mengeluarkannya pelan, dan sergak bau tanah mengodaku untuk tetap menikmati kedamaian sore ini. Aku mencintainya. Sore dipenghujung senja, kau kembali datang. Aku yakin kau akan datang, aku tersenyum. Kau melirikku kecil. Aku yakin kau berpikir aneh, “siapa gerangan gadis itu, sering kali melihatku dibalik jendela kamarnya”. Mungkin, kau bilang begitu. Mungkin.
Lalu aku diam-diam mengantarkanmu pulang. Malam pun menjelang.


Salam, Matahari.
Solo, 19 Februari 2014

Sabtu, 22 Februari 2014

selamat sore senja #1



Selamat sore Senja

Perkenalkan, namaku matahari. Ini adalah surat pertamaku untumu, lelaki senja. Aku mengagumimu, Aku suka melihatmu dibalik jendela kamar, memperhatikanmu diam-diam. Bahkan aku mau menunggu berjam-jam hanya untuk menatapmu dari jauh. Melihat siluet jingga dari matamu, terpancar indah.
Perkenalkan, aku mengaku matahari. Yang mengantarkanmu datang dan pulang. Tak pernah menemanimu singgah, hanya sebatas melihat.
Aku matahari, begini awalnya nja..

Waktu itu aku sedang terluka, rumah yang ku bangun dan hampir jadi runtuh seketika. Padahal aku sudah membelikan perabotan yang istimewa, ternyata pondasinya kurang kuat, dindingnya tak tahan lama, dan dia khilaf bergandengan tangan dengan wanita lama, masa lalunya. Sedangkan “aku” yang kukira bisa menjadi masa depannya hanya berdiri ditinggal pergi begitu saja. Aku jatuh nja, dan aku menangis untuk kesekian kalinya. Sejak itu aku menyukai kaca jendela tempatku berdiam diri dengan sejuta kenangan lama, aku tak menemukan apa-apa, sebelum akhirnya aku menatap lekat hujan sore itu. Rintik-rintik tak begitu deras, daun di depan jendela kamarku basah seketika, bau tanah menyeruak, aku menyukainya. Hingga awan hitam hilang, diperempatan sore, hampir menuju adzan magrib, langit cerah bergumul jingga, matahari mengantarkan senja untuk datang dibatas cakrawala bagian barat sana. Aku mengikutinya, hingga aku menemukan tatapan yang berbeda. Ya. Tatapan teduh dan damai saat matamu tak sengaja menatapku kembali. Hingga kaku bibirku tak menyungging. Esuknya aku kembali datang menunggumu kembali pulang. Begitu seterusnya. Tanpa kau tau, aku melihatmu diam-diam.
Sejak saat itu nja.. aku mulai mencari tau hidupmu. Segala hal tentang kamu.
Tanpa lelah aku memperhatikanmu.
Cukup sampai ini dulu nja, esuk akan ku lanjutkan ceritaku.

Selamat Sore Senja.

Salam, Matahari. 
Solo, 18 Februari 2014.

Jumat, 21 Februari 2014

Tok Tok Tok



Telah berlalu apa yang seharusnya berlalu, lambaian tangan cukup mengantarkannya pulang. Lalu aku ? masih tertinggal didalam rumah dengan pintu tertutup, sesekali jendelanya ku buka menganga. Biar luka tak membusuk disana.
Menikmati setiap detik tanpa cengkrama, tawa beradu-adu di tembok rumah kita, tanpa bunyi sendok memutari gelasnya, tanpa sapa seusai kau bekerja. Itu sudah tidak ada.
Aku memutuskan untuk tetap tinggal, menutup pintuku rapat-rapat. Takut orang lain masuk sembarangan, karna aku hanya ingin kau yang datang, membuka pintu dengan kuncimu. Dan hanya kamu yang mampu membuknya, sebelum kau benar-benar tak kembali. Sebelum aku melihatmu membuang kunci.
Aku tertunduk lesu, menatapmu diluar sana lewat jendela, yang menganga. Jelas sudah kunci itu tak berbentuk, saat ban truck yang melaju kencang dipersimpangan jalan. Dihantam hujan. Patah seketika. Menjadi dua, tiga atau beberapa.
Lalu kau ? tak menatap iba, melirikpun tak sempat.                                       
Kau lanjutkan jalanmu, meraih tangan yang harusnya itu menjadi “tanganku”. Gadis berambut sebahu. Itu bukan aku, sungguh, karna aku sedang memandangimu. Di balik jendela menganga.
Dan kini aku tau, pintu dan kunci menjadi setiamu tlah sepah.
Tak ada harap untuk kau kembali, membuka pintu rumahku lagi. Waktu-waktu hanya ku nikmati dengan melihat senja di penghujung sore, sendiri, sebelum ada bunyi ketukan pintu.
Aku tertegun, ku lirik dibalik jendela yang tak menganga. Ku intip dia dibalik sana, laki-laki berbaju hijau dengan rambut cepak.
Seribu ragu datang.
“siapa ?”                                                                                                         
“Untuk apa dia kemari ?”
Lalu ku biarkan saja.
Dan esok kembali, dia mengetuk pintu.
Aku bergeming, meliriknya kecil lewat jendela tak menganga.
Lalu dia kembali. Begitu seterusnya.
Hingga suatu hari, keyakinan hati tak lagi meragu. Aku bangkit dan membuka pintu.
“Apa maumu ?” ucapku begitu.
“Kamu” aku tersentak.
“Maukah kau mengenalku, aku datang untuk cinta. Aku datang untuk sebuah alasan. Biarkan aku mengobatimu, tak lelahkah kau berada di rumah sendirian ?”
“Aku sungguh lelah, untuk dikecewakan”
“Kalau begitu, kemarilah. Mari kita belajar memahami cinta, dari sebuah luka”.

Dan pada akhirnya, kita yang sama-sama penuh luka. Dipertemukan untuk saling mengobati

Kamis, 20 Februari 2014

Tentang kekasih yg mendua



Akhirnya aku berhenti, setelah sekian lama berlari dari luka. Membiarkan kenangan itu tertimbun di semak berduri yang bernama hati. Tidak seluruhnya berada disana, keikhlasanku lebih sedikit daripadanya. Dendam ? mungkin saja. Tapi aku sudah berusaha, membawanya lari, melemparnya jauh dari hati. Entah kenapa selang seperdetik ia kembali. Itu luka, yang kau buat beratus hari yang silam.
Andai aku disuruh bercerita, bagaimana itu bisa terjadi, aku akan kehabisan kata. Terlalu panjang dan rumit yang ada. Yang jelas aku ingin bercerita sebentar, tentang kamu yang mendua.
Tepat pukul ini, tujuh lebih 20 menit. Aku beranikan diri, membuka timbunan itu hingga menganga. Menyebabkan perih dimana-mana. Pelupuk mata yang tak kunjung tertahan tumpah begitu saja. Aku ingat bagaimana kau lingkarkan tanganmu dipinggangnya, membukakan pintu mobil yang biasanya kau lakukan untukku. mungkin kau tak lihat kekasihmu sedang merekam jelas tragedi itu, hingga tiba-tiba hujan turun derasnya. lalu aku ? Aku berbesar diri untuk rela, tapi apa daya ? kau kembali dalam pikiranku. 
lalu kau sebut apa ini ? sebuah rindu.
Ya Rindu dengan kekasihku yang mendua.

Terkadang, luka yang kau buat sendiri tanpa berusaha mengikhlaskannya. Akan menjadi luka lama yang tak akan pernah hilang, karna nyatanya suatu hari, kau sungguh-sungguh tak mampu mengelak untuk rindu. Kepadanya.


Teras rumah, 5 November 2013.