Telah berlalu apa yang seharusnya
berlalu, lambaian tangan cukup mengantarkannya pulang. Lalu aku ? masih
tertinggal didalam rumah dengan pintu tertutup, sesekali jendelanya ku buka
menganga. Biar luka tak membusuk disana.
Menikmati setiap detik tanpa
cengkrama, tawa beradu-adu di tembok rumah kita, tanpa bunyi sendok memutari
gelasnya, tanpa sapa seusai kau bekerja. Itu sudah tidak ada.
Aku memutuskan untuk tetap
tinggal, menutup pintuku rapat-rapat. Takut orang lain masuk sembarangan, karna
aku hanya ingin kau yang datang, membuka pintu dengan kuncimu. Dan hanya kamu
yang mampu membuknya, sebelum kau benar-benar tak kembali. Sebelum aku
melihatmu membuang kunci.
Aku tertunduk lesu, menatapmu
diluar sana lewat jendela, yang menganga. Jelas sudah kunci itu tak berbentuk,
saat ban truck yang melaju kencang dipersimpangan jalan. Dihantam hujan. Patah
seketika. Menjadi dua, tiga atau beberapa.
Lalu kau ? tak
menatap iba, melirikpun tak sempat.
Kau lanjutkan jalanmu, meraih tangan
yang harusnya itu menjadi “tanganku”. Gadis berambut sebahu. Itu bukan aku,
sungguh, karna aku sedang memandangimu. Di balik jendela menganga.
Dan kini aku tau, pintu dan kunci
menjadi setiamu tlah sepah.
Tak ada harap untuk kau kembali,
membuka pintu rumahku lagi. Waktu-waktu hanya ku nikmati dengan melihat senja
di penghujung sore, sendiri, sebelum ada bunyi ketukan pintu.
Aku tertegun, ku lirik dibalik
jendela yang tak menganga. Ku intip dia dibalik sana, laki-laki berbaju hijau
dengan rambut cepak.
Seribu ragu datang.
“siapa ?”
“Untuk apa dia kemari ?”
Lalu ku biarkan saja.
Dan esok kembali, dia mengetuk
pintu.
Aku bergeming, meliriknya kecil
lewat jendela tak menganga.
Lalu dia kembali. Begitu
seterusnya.
Hingga suatu hari, keyakinan hati
tak lagi meragu. Aku bangkit dan membuka pintu.
“Apa maumu ?” ucapku begitu.
“Kamu” aku tersentak.
“Maukah kau mengenalku, aku
datang untuk cinta. Aku datang untuk sebuah alasan. Biarkan aku mengobatimu,
tak lelahkah kau berada di rumah sendirian ?”
“Aku sungguh lelah, untuk
dikecewakan”
“Kalau begitu, kemarilah. Mari
kita belajar memahami cinta, dari sebuah luka”.
Dan pada akhirnya, kita yang sama-sama penuh luka. Dipertemukan untuk
saling mengobati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar