Jumat, 21 Februari 2014

Tok Tok Tok



Telah berlalu apa yang seharusnya berlalu, lambaian tangan cukup mengantarkannya pulang. Lalu aku ? masih tertinggal didalam rumah dengan pintu tertutup, sesekali jendelanya ku buka menganga. Biar luka tak membusuk disana.
Menikmati setiap detik tanpa cengkrama, tawa beradu-adu di tembok rumah kita, tanpa bunyi sendok memutari gelasnya, tanpa sapa seusai kau bekerja. Itu sudah tidak ada.
Aku memutuskan untuk tetap tinggal, menutup pintuku rapat-rapat. Takut orang lain masuk sembarangan, karna aku hanya ingin kau yang datang, membuka pintu dengan kuncimu. Dan hanya kamu yang mampu membuknya, sebelum kau benar-benar tak kembali. Sebelum aku melihatmu membuang kunci.
Aku tertunduk lesu, menatapmu diluar sana lewat jendela, yang menganga. Jelas sudah kunci itu tak berbentuk, saat ban truck yang melaju kencang dipersimpangan jalan. Dihantam hujan. Patah seketika. Menjadi dua, tiga atau beberapa.
Lalu kau ? tak menatap iba, melirikpun tak sempat.                                       
Kau lanjutkan jalanmu, meraih tangan yang harusnya itu menjadi “tanganku”. Gadis berambut sebahu. Itu bukan aku, sungguh, karna aku sedang memandangimu. Di balik jendela menganga.
Dan kini aku tau, pintu dan kunci menjadi setiamu tlah sepah.
Tak ada harap untuk kau kembali, membuka pintu rumahku lagi. Waktu-waktu hanya ku nikmati dengan melihat senja di penghujung sore, sendiri, sebelum ada bunyi ketukan pintu.
Aku tertegun, ku lirik dibalik jendela yang tak menganga. Ku intip dia dibalik sana, laki-laki berbaju hijau dengan rambut cepak.
Seribu ragu datang.
“siapa ?”                                                                                                         
“Untuk apa dia kemari ?”
Lalu ku biarkan saja.
Dan esok kembali, dia mengetuk pintu.
Aku bergeming, meliriknya kecil lewat jendela tak menganga.
Lalu dia kembali. Begitu seterusnya.
Hingga suatu hari, keyakinan hati tak lagi meragu. Aku bangkit dan membuka pintu.
“Apa maumu ?” ucapku begitu.
“Kamu” aku tersentak.
“Maukah kau mengenalku, aku datang untuk cinta. Aku datang untuk sebuah alasan. Biarkan aku mengobatimu, tak lelahkah kau berada di rumah sendirian ?”
“Aku sungguh lelah, untuk dikecewakan”
“Kalau begitu, kemarilah. Mari kita belajar memahami cinta, dari sebuah luka”.

Dan pada akhirnya, kita yang sama-sama penuh luka. Dipertemukan untuk saling mengobati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar